Bahasa merupakan alat
komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, melalui bahasa manusia
dapat berinteraksi dengan manusia lainnya. Bahasa juga merupakan kunci
penguasaan ilmu pengetahuan dimana ada proses pertukaran informasi yang dapat
menambah pemahaman manusia akan sesuatu yang disampaikannya.
Melalui bahasa
manusia dapat saling berinteraksi dan menyampaikan tentang pemikiran dan keinginan. Pengertian Bahasa menurut (Depdiknas, 2005: 3) Bahasa
pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan perasan manusia secara teratur, yang
mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
Manusia diciptakan memiliki lima panca indra
yang penting beberapa diantaranya adalah telinga dan mulut. Dalam mempelajari
sebuah bahasa kedua indra ini sangat berpengaruh karena bahasa yang biasa kita
gunakan mempunyai bunyi namun adapula bahasa yang tidak memilki bunyi yaitu
Bahasa Isyarat.
Bahasa isyarat merupakan salah satu masalah individu yang
membantu komunikasi sesama penyandang tuna rungu dan tuna wicara atau antara
orang normal dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara tersebut dalam
berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas. Bentuk bahasa isyarat tersebut
adalah tatanan yang sistematis tentang seperangkat isyarat jari, tangan dan
berbagai gerak untuk melambangkan kosa kata bahasa Indonesia.
Tatanan sistematis
tersebut mencakup segi kemudahan dan ketepatan pengungkapan makna isyarat yang
akurat dan konsisten mewakili tata bahasa Indonesia dengan satu kata dasar atau
imbuhan. Penyandang tuna rungu adalah sekelompok orang yang menggunakan bahasa
isyarat, biasanya mengkombinasikan bentuk tangan, gerak tangan, lengan, dan
tubuh, serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka.
Anak yang mengalami
tuna rungu dari lahir tidak dapat mendengar sekaligus berbicara dan dapat
menghambat kemampuan belajar anak tersebut. Secara umum tunarungu dikategorikan
kurang dengar dan tuli, sebagaimana yang diungkap oleh Hallahan dan Kauffman
(1991:26) bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukan kesulitan
mendengar yang meliputi seluruh kesulitan mendengar dari yang ringan sampai
yang berat, digolongkan kedalam tuli dan kurang dengar.Secara fisik, anak tunarungu
tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui
bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa
suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan
tidak berbicara sama sekali, mereka hanya berisyarat.
Para orang tua yang
memiliki anak tuli dapat tetap memberikan pelajaran atau ilmu kepada sang anak
didalam keterbatasan yang dimilikinya sejak dini dan diharapkan dapat
merangsang otak sang anak untuk tetap berfikir sehingga walaupun sang anak
mengalami ketulian namun tidak kehilangan hak untuk mendapat pendidikan.
Di
Indonesia ada dua bahasa isyarat yang digunakan. Pertama,
Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau SIBI. Kedua, Bahasa Isyarat Indonesia atau
BISINDO. Dengan letak perbedaan yaitu SIBI merupakan bahasa isyarat yang
diciptakan oleh Alm. Anton Widyatmoko mantan kepala sekolah SLB/B Widya Bakti
Semarang bekerjasama dengan mantan kepala sekolah SLB/B di Jakarta dan Surabaya
tanpa melalui musyawarah dan persetujuan dari Gerakan Kesejahteraan Tunarungu
Indonesia atau GERKATIN yang pada akhirnya mengeluarkan sebuah produk kamus
bernama SIBI. SIBI tidak dapat digunakan dalam komunikasi sehari-hari
penyandang tunarungu karena penerapan kosakata yang tidak sesuai dengan aspirasi
dan nurani kaum tunarungu, terlebih penerapan bahasa yang terlalu baku dengan
tata bahasa kalimat bahasa Indonesia yang membuat kesulitan kaum tunarungu
untuk berkomunikasi. Kemudian dalam SIBI ditemukan banyak pengaruh alami,
budaya, dan isyarat tunarungu dari luar negeri yang sulit dimengerti sehingga
memang benar SIBI sulit dipergunakan oleh kaum tunarungu untuk berkomunikasi.
Berbeda dengan bahasa
isyarat Indonesia (BISINDO) yang belakangan ini mulai diperjuangkan oleh
Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN). BISINDO merupakan bahasa
isyarat alami budaya asli Indonesia yang dengan mudah dapat digunakan dalam
pergaulan isyarat kaum tunarungu sehari-hari.
Kecepatan dan kepraktisannya
membuat kaum tunarungu lebih mudah memahami meski tidak mengikuti aturan bahasa
Indonesia sebagaimana yang digunakan SIBI. Namun untuk mendapatkan buku
pembelajaran bahasa isyarat ini masih susah dan hanya terbatas di sekolah luar
biasa atau lembaga swadaya masyarakat. Hal ini dirasa kurang dan menyulitkan
bagi orang tua yang ingin mengajarkan sang anak yang tuna rungu untuk belajar
bahasa isyarat sejak dini.